Hubungi IGD & Ambulance

Cari Dokter

HUBUNGI KAMI
Jangan Anggap Remeh Nyeri Dada, Bisa Jadi Tanda Penyakit Jantung
Jangan Anggap Remeh Nyeri Dada, Bisa Jadi Tanda Penyakit Jantung
dr. David Dwi Ariwibowo, SpJP (K)

Keluhan nyeri dada bisa dialami siapa saja, baik pria maupun wanita, usia muda dan lanjut usia. Jangan menganggap ringan masalah tersebut. Pasalnya, keluhan nyeri dada dapat disebabkan dari berbagai hal, mulai dari yang sifatnya ringan hingga berat sampai dapat berakibat fatal.

Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah dari Rumah Sakit Royal Taruma, David Dwi Ariwibowo menerangkan, nyeri pada bagian dada ada banyak jenis, tapi secara umum dibedakan dua, yaitu nyeri somatis (badan atau dinding dada) dan nyeri viseral (organ dalam).

Kedua nyeri ini punya ciri yang berbeda. Ciri pada nyeri somatis adalah penderitanya dapat melokalisir atau menunjuk lokasi rasa nyeri. Kemudian, nyeri itu bisa dirasakan dengan penekanan dan dipengaruhi oleh posisi serta gerakan.

“Berbeda dengan nyeri viseral yaitu nyeri yang berasal dari organ dalam, dimana pasien tidak akan dapat menunjuk lokasi nyeri secara tepat namun nyeri dirasakan di area yang luas dan melebar serta ada penjalaran ke bagian tubuh lainnya,”jelasnya.

Nyeri pada penyakit jantung koroner yang dikenal sebagai Angina termasuk nyeri viseral, paling sering terjadi karena kekurangan pasokan darah dan oksigen pada otot jantung akibat penyempitan pembuluh darah koroner.

Rasa nyeri ini akan bertambah saat melakukan aktivitas fisik seperti jalan atau naik tangga, namun akan berkurang atau hilang saat beristirahat. Hal ini terjadi karena saat aktivitas fisik jantung bekerja lebih cepat, berkontraksi, dan memompa dengan lebih kuat sementara pasokan darah dan oksigen berkurang karena adanya penyempitan pembuluh darah.

Penanganan Rasa Nyeri

Penangan untuk nyeri tersebut yaitu dengan menghilangkan penyempitan agar pasokan darah kembali lancar. Dokter David menjelaskan, jika penyempitan tidak terlalu berat, penanganannya bisa dilakukan melalui obat-obatan seperti nitrat atau beta bloker.

Namun jika dengan obat-obatan itu tidak lagi memberikan perbaikan, maka pilihannya dengan tindakan pembalonan dan pemasangan Stent atau yang dikenal dimasyarakat dengan “Ring” di pembuluh darah koroner tersebut.

“Jadi setelah kita kateter, kita pastikan penyempitannya ketat sampai diatas 50-70%. Nah itu kita lakukan pembalonan, kemudian dipasang Stent atau kalau penyempitannya sangat berat dan tidak bisa dipasang Stent, maka pilihan berikutnya adalah operasi bypass,” jelas Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini.

Hal serupa juga terjadi pada serangan jantung, dimana terjadi penyumbatan pembuluh darah karena adanya pembekuan darah. Pemberian obat pengencer darah dengan dosis kuat perlu dilakukan untuk bisa meluruhkan bekuan darah yang sudah terbentuk. Tapi pilihan utamanya, apabila rumah sakit memiliki fasilitas kateter, maka langsung segera kita lakukan pemasangan ring.

Faktor Risiko

Ada banyak faktor yang bisa menyebabkan penyempitan pembuluh darah antara lain diabetes,  kolesterol dan darah tinggi. Semua penyakit Penyerta itu harus dikontrol secara ketat agar tidak menyebabkan penumpukan lemak dipembuluh darah.

Kemudian faktor gaya hidup atau lifestyle seperti kegemukan, kurang berolahraga, makan yang tidak terkontrol, mengandung tinggi lemak, tinggi gula, merokok juga bisa memicu penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah.

Selain faktor-faktor di atas, ada faktor lain yang tidak bisa dikendalikan, yaitu faktor usia. Semakin usia bertambah, maka risiko terjadinya penyumbatan atau penyempitan pembuluh darah semakin tinggi pula.

Faktor genetik atau keturunan dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah. Seseorang yang keluarganya memiliki riwayat Diabetes, darah tinggi, kolesterol, atau keluarganya, ada yang terkena penyakit pembuluh darah seperti serangan jantung, stroke, risikonya akan lebih tinggi.

Bagi orang dengan serangan jantung, mengonsumsi obat-obatan secara rutin menjadi keharusan untuk mencegah serangan berulang dan mencegah agar tidak semakin progresif penyakitnya. Faktor risiko yang ada juga harus dikontrol, untuk mencegah timbulnya serangan ulang. Hal ini dikarenakan, risiko untuk serangan berikutnya, jauh lebih tinggi, dan lebih mematikan.

Kembali